Jakarta – Meladeni beberapa perubahan selera genre musik yang terjadi di industri pop Tanah Air, kini membuat artis maupun grup band perlu bervariasi dalam menentukan aransemen lagu-lagunya. Lirik dan lagu yang kuat, tak lagi cukup kalau aransemennya tidak beragam.
Terutama bagi vokalis solo, menurut pengamat musik Bens Leo, dibutuhkan arah musik yang bervariasi melalui dukungan banyak music director. Ia yang baru-baru ini mengawal debut pendatang baru, Lita BM dan nanti Tina Toon, mengatakan bahwa maraknya penjualan hits melalui RBT (nada tunggu ponsel) membuka tantangan baru tersebut. Apalagi bagi pendatang baru, yang sekaligus berhak mempengaruhi dengan hadirnya kemungkinan-kemungkinan lain.
Ia mengomentari perbedaan genre yang muncul dengan hadirnya Lita BM lewat permasalahan sosial peninggalan masa Orde Baru (Petrus = penembakan misterius) yang menimpa langsung kehidupan pribadinya. Ia menyebut pasar penjualannya bisa sukar, karena aransemen dan liriknya harus kuat atau tak sekadar biasa-biasa saja.
Album perdana Lita BM bertajuk Tirai Kelahiran ‘83 yang mengungkap tragedi berdarah Petrus (1983-1985) dan menyangkut kehidupan keluarga si artis selaku korban, disepadankan Bens dengan genre kritik sosial semacam lagu-lagunya Iwan Fals.
Sebutlah sebagai contoh, ujar Bens, bagaimana kekuatan syair “Bento” yang aransemen musiknya juga ditangani oleh orang yang berpengalaman dalam genre semacam itu. Jadi, saran Bens, Lita harusnya memercayakan kemungkinan kerja bareng dengan level pemusik yang terbiasa bermain dengan nada-nada kritik sosial seperti Iwan Fals ataupun Anto Baret.
Pendapat ini bisa dipahami, lantaran melihat kegemilangan Afgan yang tiba-tiba bisa menjungkalkan kenyataan lama menjadi baru. Afgan bukan hanya bermodalkan tampang dan penampilan belaka, tetapi bagaimana kekuatan lirik dan aransemen lagu hingga masukan produser serta keunikan dan daya tarik baru yang mampu mengangkat nilai kualitas si penyanyi.
Rasa Lain
Berbicara keunikan tentu menimbulkan pandangan berbeda pula dari orang-orang yang bertanggung jawab pada kelangsungan hidup industri pop di Tanah Air. Adapun menurut Jusak Irwan Sutiono selaku Managing Director Warner Music Indonesia, grup band dan artis unik dan menarik adalah mereka yang memiliki sesuatu “perbedaan”.
Menurut pendapatnya, ketika awal menikmati “rasa lain” tersebut jangan dulu kita lalu terpancing untuk menilai kualitas.
“Saat mendengar band baru, untuk pertama kalinya tidak harus kita selalu menuntut perfek. Tetapi melihat apakah ia cukup atraktif untuk bisa bersaing dan trendi di pasar,” kata Jusak yang langsung “jatuh cinta” pada Kangen Band ketika pertama kali mendengar lagu-lagunya.
“Banyak lagu bagus yang bisa didengar di radio, tetapi albumnya tidak dibeli publik, mungkin karena tidak trendi lagi. Tetapi kemungkinan baru yang saya lihat adalah musik pop sekarang ditentukan oleh kalangan bawah yang tidak mampu membeli perangkat praktis teknologi tinggi (gadget) yang mudah mengunduh dan mengopi berbagai lagu seenaknya dari sana dan sini,” kata Jusak saat pengenalan dan peluncuran album perdana grup band asal Kediri, Re-On, beberapa waktu lalu.
Terutama bagi vokalis solo, menurut pengamat musik Bens Leo, dibutuhkan arah musik yang bervariasi melalui dukungan banyak music director. Ia yang baru-baru ini mengawal debut pendatang baru, Lita BM dan nanti Tina Toon, mengatakan bahwa maraknya penjualan hits melalui RBT (nada tunggu ponsel) membuka tantangan baru tersebut. Apalagi bagi pendatang baru, yang sekaligus berhak mempengaruhi dengan hadirnya kemungkinan-kemungkinan lain.
Ia mengomentari perbedaan genre yang muncul dengan hadirnya Lita BM lewat permasalahan sosial peninggalan masa Orde Baru (Petrus = penembakan misterius) yang menimpa langsung kehidupan pribadinya. Ia menyebut pasar penjualannya bisa sukar, karena aransemen dan liriknya harus kuat atau tak sekadar biasa-biasa saja.
Album perdana Lita BM bertajuk Tirai Kelahiran ‘83 yang mengungkap tragedi berdarah Petrus (1983-1985) dan menyangkut kehidupan keluarga si artis selaku korban, disepadankan Bens dengan genre kritik sosial semacam lagu-lagunya Iwan Fals.
Sebutlah sebagai contoh, ujar Bens, bagaimana kekuatan syair “Bento” yang aransemen musiknya juga ditangani oleh orang yang berpengalaman dalam genre semacam itu. Jadi, saran Bens, Lita harusnya memercayakan kemungkinan kerja bareng dengan level pemusik yang terbiasa bermain dengan nada-nada kritik sosial seperti Iwan Fals ataupun Anto Baret.
Pendapat ini bisa dipahami, lantaran melihat kegemilangan Afgan yang tiba-tiba bisa menjungkalkan kenyataan lama menjadi baru. Afgan bukan hanya bermodalkan tampang dan penampilan belaka, tetapi bagaimana kekuatan lirik dan aransemen lagu hingga masukan produser serta keunikan dan daya tarik baru yang mampu mengangkat nilai kualitas si penyanyi.
Rasa Lain
Berbicara keunikan tentu menimbulkan pandangan berbeda pula dari orang-orang yang bertanggung jawab pada kelangsungan hidup industri pop di Tanah Air. Adapun menurut Jusak Irwan Sutiono selaku Managing Director Warner Music Indonesia, grup band dan artis unik dan menarik adalah mereka yang memiliki sesuatu “perbedaan”.
Menurut pendapatnya, ketika awal menikmati “rasa lain” tersebut jangan dulu kita lalu terpancing untuk menilai kualitas.
“Saat mendengar band baru, untuk pertama kalinya tidak harus kita selalu menuntut perfek. Tetapi melihat apakah ia cukup atraktif untuk bisa bersaing dan trendi di pasar,” kata Jusak yang langsung “jatuh cinta” pada Kangen Band ketika pertama kali mendengar lagu-lagunya.
“Banyak lagu bagus yang bisa didengar di radio, tetapi albumnya tidak dibeli publik, mungkin karena tidak trendi lagi. Tetapi kemungkinan baru yang saya lihat adalah musik pop sekarang ditentukan oleh kalangan bawah yang tidak mampu membeli perangkat praktis teknologi tinggi (gadget) yang mudah mengunduh dan mengopi berbagai lagu seenaknya dari sana dan sini,” kata Jusak saat pengenalan dan peluncuran album perdana grup band asal Kediri, Re-On, beberapa waktu lalu.
Justru memang kini malah publik menengah bawah yang masih aktif membeli album rekaman CD dan kaset. Dengan begitu, menurutnya, tak mengherankan apabila musik pop yang laris adalah tren musik selera semacam Kangen, Wali, Pilot, Angkasa, ST 12 dan Caramel. “Lagu-lagu tiga jurus versi band mereka (yang bersuara ‘Melayu’), hingga kini permintaannya masih banyak,” tambah Jusak. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar